Senin, 02 April 2012
Pulau Harta Karun di Laut China Selatan
Natuna
Pulau Harta Karun di Laut China Selatan
http://www.analisadaily.com/functs/viewthumb.php?id=pulau_harta_karun_di_laut_china_selatan_938.gif&w=360
Pemandangan eksotis salah satu sudut Pantai Natuna dengan latar belakang Pulau Senoa.
Oleh: Syaiful Anwar Lubis. Berada di gugusan paling utar Kepulauan Riau, keelokan pulau-pulau di Kabupaten Natuna, yang berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja, selama ini belum banyak diungkap ke permukaan. Padahal Natuna, yang menjadi Kabupaten sejak dua belas tahun lalu, menyimpan pesona alam yang sangat eksotis, dan layak dikunjungi.Di samping pesona alam dan lautnya, ribuan jenis keramik dari berbagai dinasti China di masa lalu masih tersebar sebagai harta karun di Kabupaten Kepulauan ini.
Bagi Anda yang sudah berkeliling ke berbagai obyek wisata di tanah air, dan baru pertamakali menginjakkan kaki di pulau Natuna, pasti terkesima dengan pemandangan alam yang menghampar di depan mata. Sejak pesawat mulai terbang rendah dan bersiap akan mendarat di bandara Ranai, kita sudah disuguhi pemandangan pesisir pantai yang membiru dengan batu-batu alam berukuran raksasa di sekitarnya.
Sebagai Ibukota Kabupaten, Ranai tergolong kota kecil di pesisir pantai yang menghadap ke laut China Selatan. Namun di sekitar kota ini terhampar sejumlah obyek wisata yang menarik. Salah satunya adalah obyek wisata Batu Sindhu, yang hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari Ranai. Tumpukan batu-batu raksasa yang tersebar, mulai puncak bukit hingga ke pinggiran laut, sungguh merupakan pemandangan yang menakjubkan, dan sulit dicari bandingannya. Konon, batu-batu hitam berukuran raksasa, dan sebagian menyerupai sisir akibat gerusan air hujan, di dunia hanya terdapat di tiga tempat. Di Brazil, Natuna, dan negeri Laskar Pelangi, Bangka Belitung.
Bagi masyarakat Natuna, keberadaan batu-batu raksasa itu, memiliki sejumlah kisah legenda. Namun yang pasti batu-batu raksasa itu adalah batu-batu granit yang mengandung kristal dan bisa diolah menjadi bahan dasar keramik. Dari puncak bukit Batu Sindhu, kita bisa menyaksikan sebagian Ibukota Kabupaten dan kawasan pesisir pantai, serta Pulau Senoa, yang terhampar persis di depan pulau Natuna. Pulau tidak berpenghuni dengan pasir putih di sekelilingnya ini, berbentuk persis seperti wanita hamil yang sedang terlentang. Karena itu, keberadaan pulau ini pun memiliki cerita tersendiri bagi masyarakat Ranai.
Dari Batu Sindhu, kita bisa meneruskan perjalanan ke Pantai Tanjung, kira-kira 10 kilometer dari Batu Sindhu. Lokasi pantai berpasir putih, yang dipenuhi tumbuhan pohon kelapa di pinggirnya, merupakan obyek wisata utama masyarakat kota Ranai, khususnya, di akhir pekan. Sebab, sebagai Kabupaten Kepulauan, daerah ini memang belum memiliki obyek wisata yang dikelola secara profesional, sehingga pantai Tanjung yang menghadap ke Laut China Selatan, menjadi tujuan utama warga Ranai untuk berlibur.
Di samping menikmati pasir putih, atau bermain air laut dengan latar belakang puncak gunung Ranai, di tempat ini juga tersedia panganan khas Natuna, Kernas – sagu yang dicampur dengan daging ikan tuna yang dipanggang dengan daun pisang – dan tentu saja kelapa muda sebagai pelengkapnya.
Pulau yang konon menjadi daerah perdagangan di era kejayaan dinasti dinasti China masa lalu ini juga memiliki hewan langka, jenis kera hitam dengan bulu putih di bagian dadanya. Dengan ekor yang menjuntai hingga lebih dari satu meter, hewan yang diberi nama Kekah, hanya ditemukan dan bisa hidup di pulau Natuna. Meski sudah jarang, Kekah sesekali masih terlihat di kawasan hutan sekitar gunung Ranai, dan di Selat Lampa.
Pulau Harta Karun
Kabupaten Natuna terdiri dari 154 pulau, dengan luas mencapai 264.198,37 km2. Sampai saat ini, baru 27 pulau yang dihuni. Sementara sisanya sekitar 127 pulau lagi masih belum berpenghuni. Dengan jumlah penduduk hanya sekitar 70.000 jiwa, gugusan pula-pulau yang bertebaran hingga ke perbatasan Vietnam dan Kamboja di sebelah Utara ini, bisa disebut sebagai Pulau Harta Karun. Betapa tidak, berdasarkan laporan studi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2002, cadangan minyak yang dimiliki Natuna mencapai 308,30 juta barel. Sementara cadangan gas buminya, terbesar di Indonesia yaitu sebesar 54,78 trilyun kaki kubik! Karena itulah, Dana Bagi Hasil (DBH) Migas, menjadi sumber PAD terbesar Natuna, yang resmi menjadi Kabupaten sejak 12 Oktober 1999.
Tidak hanya minyak dan gas bumi yang menjadi harta karun Natuna. Di gugusan kepulauan yang ada, juga masih tersimpan ribuan jenis harta karun lain, dalam bentuk barang-barang peninggalan dinasti China, yang pernah melakukan aktivitas di gugusan kepulauan Natuna. Berbagai jenis barang peninggalan sejarah itu, ada di daratan maupun di lautan. Ini bisa dibuktikan dengan ditemukannya ribuan jenis keramik berbentuk, piring, mangkuk, guci sampai perhiasan emas, dan emas batangan. Dari hasil penelitian sementara, barang-barang keramik itu ada yang berasal dari Dinasti Tang (618 -907 M), Song (960-1268), Yuan (1279-1368), sampai Ming (1368-1640).
Barang-barang peninggalan sejarah dinasti China ini, tersebar di pesisir pantai pulau Natuna, maupun di pulau-pulau lainnya, seperti pula Midai, Serasan dan pulau Subi.
Tidak itu saja, ada belasan kapal karam yang diyakini berisi barang berharga, masih terhampar di kedalaman laut Natuna, antara 4 sampai 12 Mil dari daratan Natuna, dan sampai saat ini belum diangkat ke permukaan.
Banyaknya barang-barang peninggalan sejarah yang berasal dari China, menurut pendiri Lembaga Kajian Sejarah Natuna (Lekas), Zaharuddin Zainuddin, diduga karena pentingnya kawasan kepulauan Natuna di masa lalu. Kuat Dugaan gugusan kepulauan di ujung Selatan daratan China ini, merupakan jalur sutra (lautan) perdagangan di masa lalu. Sebab hampir tiap dinasti yang memerintah China di masa lalu, bisa ditemukan barang peninggalannya di Natuna.
Apakah Natuna pernah menjadi bagian dari kekuasan kekaisaran China di masa lalu memang masih memerlukan pembuktian sejarah. Namun dari dialek dan nama-nama tempat di Kepulauan Natuna saat ini, sangat kental dengan pengaruh bahasa China. Na-Tu-Na, misalnya, atau Pe-Na-Gi (salah satu pelabuhan pertama di Natuna), atau Ce-Ma-Ga, salah satu desa tua di Natuna.
Namun sebagai kabupaten yang baru berkembang, Natuna memang belum memiliki arah pengelolaan kepariwisataannya. Sampai saat ini, untuk mencapai kawasan di ujung Utara Kepulauan Riau itu, hanya mengandalkan pesawat terbang dari Batam, atau Pontianak. Sementara kapal laut, hanya seminggu sekali menyinggahi Natuna dari Jakarta. Karena itu, jika ingin menikmati pesona Natuna, kita harus siap-siap berhadapan dengan persoalan transportasi, baik saat akan menuju Natuna, maupun dari satu lokasi wisata ke lokasi lainnya di Kabupaten Natuna. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar